Hubungan Bilateral RI Dengan Negara Sub-Sahara Afrika
Duta Besar RI untuk Senegal, Andradjati, dalam sambutannya menyampaikan bahwa Kemenlu ingin memberikan informasi mengenai hubungan bilateral RI dengan negara-negara Sub-Sahara Afrika sekaligus mengharapkan masukan dari dunia akademis mengenai pemajuan hubungan dengan negara-negara Sub-Sahara Afrika secara komprehensif.
Andradjati menyampaikan dalam paparannya mengenai perkembangan negara-negara Sub-Sahara Afrika
yang mengalami perkembangan pesat mulai dekade 90-an saat tumbangnya
apartheid di Afrika Selatan, disusul dengan demokratisasi,
penanggulangan kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi yang besar. Di
tataran regional, terjadi
transformasi organisasi regional OAU menjadi Uni Afrika dan
diluncurkannya program NEPAD (New Economic Partnership for African
Development) untuk pemajuan ekonomi Afrika.
Afrika yang
memiliki stigma negatif sebagai wilayah yang penuh penyakit, perang
saudara dan kelaparan telah bertransformasi menjadi wilayah dengan
perkembangan ekonomi yang pesat sehingga sudah saatnya para pebisnis
Indonesia mulai memasuki pasar Afrika.
Secara bilateral Indonesia memiliki hubungan
kesejarahan yang erat sejak abad ke-17, berlanjut hingga KAA tahun 1955
dan KAA II tahun 2005.Jika KAA I bersifat politis untuk mendukung
perjuangan kemerdekaan negara-negara Afrika,
maka di tahun 2005, menghasilkan NAASP (New Asia Africa Strategic
Partnership) berupa dialog strategis antar kawasan, solidaritas
politik,kerjasama ekonomi dan hubungan social budaya. Indonesia perlu
memberikan perhatian yang lebih dan menerjemahkan momentum kawasan sub-Sahara Afrika sebagai
wilayah yang mulai bangkit dan potensial secara politik, ekonomi, dan
social budaya, serta perlu secara bersama-sama mengembangkan diplomasi bilateral dengan negara-negara di kawasan Sub-Sahara Afrika dan diplomasi regional dengan Uni Afrika.
Prof. Zainuddin Djaffar menyampaikan bahwa Indonesia jangan menjadikan Afrika sebagai pembuangan karena perlambatan ekonomi di Amerika dan Eropa, karena sebenarnya Indonesia memiliki investasi politik yang besar sejak KAA 1955. Di tahun 2011, Afrika menduduki posisi yang unik dengan momentum makin penting dengan total PDB 1,7trilyun di atas PDB India dan ASEAN.Afrika harus didukung oleh kegiatan bisnis dan perdagangan yang mempunyai akses pada hal-hal yang terkait dengan keuangan.
Afrika
berkepentingan untuk menciptakan kelas wiraswastawan baru untuk
memenuhi kebutuhan industri dan jasa; tumbuhnya Negara Afrika secara
ekonomi yang membuka peluang bagi pengusaha Indonesia (karena kelas
menengah yang mulai tumbuhakan membutuhkan barang dan jasa); para
pemimpin politik Afrika yang harus menciptakan situasi yang kondusif
bagi bisnis; perbankan yang sanggup memelihara pertumbuhan.
Diperkirakan bahwa pada tahun 2012, Afrika secara keseluruhan akan
bertumbuh sebesar 9% yang merupakan peluang nyata bagi Indonesia.
Prof. Aleksius Jemadu menyampaikan mengenai Politik Luar Negeri RI terhadap Afrika: Tantangan dan Peluang. Dalam berhubungan dengan Afrika, pola piker pendekatan politis harus diubah menjadi ekonomi. Indonesia harus
membangun postur kebijakan politik luar negeri yang menitik beratkan
pada ekonomi, Karena hal tersebut yang memberikan kemanfaatan secara
riil. Empat faktor bagi Indonesia untuk menciptakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan hubungannya dengan negara-negara Afrika:
1. Keanggotaan Indonesia dalam G-20 untukmemperjuangkankepentingannegara-negara berkembang sehingga tidak termajinalisasi.
2. Indonesia merupakan model yang baik untuk konsolidas idemokrasi.
3. Indonesia memiliki resolusi konflik secara damai.
4. Antisipasi menghadapi KTT Bumi (Rio+20 Summit), yang diperkirakan Indonesia dan negara-negara Sub-Sahara memiliki titik tolak yang sama karena ekonominya resources based, yang akan menghadapi diskursus green economy.
Dr. Thalib Puspokusumo menyampaikan bahwa Kadin Indonesia telah mulai masuk ke Afrika
melalui berbagai jalan antara lain melalui berbagai forum bisnis,
bantuan teknis, dan berbagai organisasi regional seperti IORAC (Indian
Ocean Rim-Asian Regional Cooperation) untuk mendukung orientasi dagang
negara-negara yang terlibat di dalamnya. Sektor bisnis telah berjalan
dengan baik antara Indonesia dengan Afrika misalnya dengan ISAB (Indonesia-South Africa Business Partnership) yang meminta berbagai produk Indonesia seperti
tekstil dan produk tekstil, mebel, kosmetik, kendaraan bermotor, karet,
mineral, minyak nabati, barang kimia dan barang konsumsi. Sebagai
middle income countries, Indonesia telah memberikan berbagai bantuan
teknis melalui Kerja Sama Selatan Selatan untuk penguatan kerjasama pembangunan dengan Afrika.
Perwakilan dari Kedutaan Besar Afrika Selatan menyampaikan pandangan mengenai perkembangan Afrika sekarang,
dimana meskipun pertumbuhan ekonomi cukup signifikan namun masih
terdapat beberapa kelemahan seperti konflik dan ketidakamanan. Di sisi
Penanaman Modal Asing, utamanya PMA hanya berkutat di bidang eksplorasi
mineral, sehingga saat harga komoditas jatuh, maka akan mempengaruhi
perekonomian Negara tersebut.
Tantangan di Afrika Selatan
adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, yaitu peningkatan
pendidikan dan penciptaan lapangan kerja. Investasi seharusnya tidak
hanya dititikberatkan padasektor pertambangan dan perminyakan namun
juga harus dikembangkan ke berbagai sektor lain. Di Afrika Selatan,
pemerintah telah menerapkan kebijakan pembangunan di sector pertanian,
kesehatan, telekomunikasi, perbankan maupun pertambangan dimana Afrika
Selatan merupakan salah satu pemimpin di Sub-Sahara Afrika. Sektor
pertambangan dimanfaatkan untuk lebih mengembangkan sektor lain
termasuk penciptaan lapangan kerja.